Pemilik Rahim Penuntun Arah

Pemilik rahim penuntun arah. Teracuhkan oleh peradaban yang bobrok sudah. Tapi kau tak pernah menyerah. Sedetikpun tak pernah.

Kau punggungi rasa sakit. Memaniskan pahit. Susah payah kau menjaga agar bumi tak pernah terasa sempit dan menghimpit.

Bagiku putramu, oh Ibu.
Masih saja aku ragu. Masih saja dengan kasar lidahku berujar, "Dimana cintamu?".
Aku tak percaya durhaka akan berujung batu.

Namun cinta itu, membuatku mengemis surga di telapakmu.

Selimut

Perlukah kita berbisik pada selimut bahwa kita takut?

Takut hanya secuil rasa yang tak dirasakan selimut. Selimutmu tak kenal hidup, dan dia tak gentar pada maut. Dia juga tak menggubris pucat pasi yang tersaput di wajahmu saat menanti ajal yang seolah berjalan seperti siput. Masih saja kau merengek perlindungan padanya dari rasa takut.

Hanya pada sebuah selimut. Namun kau rela berlutut.

Warna

Tirai hijau bisu tertiup sayup angin tak berbau. Rebah tubuh lelah dan layu. Secuil kantuk menyapu. Pandangku tak bertemu cahaya hidup.

Kerikil berdesak di udara. Halangi warna cinta dan benci. Warna kasat mata. Hanya riak ribut sesekali. Sesekali yang berulang-ulang kali.

Ornamen berlebihan?
Atau miskin keteraturan?

Penggalan Era Tak Terbantah

Beragam dalih terujar oleh lidah.
Kita tegaskan dosa tanpa rasa bersalah.
Menoreh arang di wajah.
Era berubah, kita bangga menjadi sampah!

Batas

Batas dijengkal.
Batas dilewati.
Batas direnggut.
Batas dikhianati.

Argumen

Karena setiap argumen memiliki argumen balasan.
Dan setiap tindakan memiliki alasan.
Maka pada suatu saat, kita akan dapat berdesak-desakan pada ruang tanpa batasan.

Dan kemudian diam.

Karena diam adalah jawaban yang pantas* untuk argumen tolol.




*Irving Karchmar, "Sang Raja Jin".

Teman Yang Tak Terlalu Akrab

Cinta yang bagaimana?
Cinta yang membuatmu tertawa dan membuatmu tetap kanak-kanak?
Atau cinta yang membuatmu tua, menderita dan meregang nyawa?

Oh pengendara raksasa belantara, kini aku berurai air mata.
Oh penari ambigu, kini setiap bendungan tak mampu menahan laju.

Dari rangkai tajam peluru dan rasa takut yang menghujam setiap detik kupejam mataku. Atau kubuka?

Kemudian canda dan cinta bunda yang menakutiku. Warna sepi yang semakin kupuja. Letih yang selalu ingin kuakrabi. Atau kumusuhi?
Karena mengikuti nalar sungguh aku tak punya nyali.

Jadilah aku menangis tanpa sembab.
Dan kau, jadilah temanku yang tak terlalu akrab.

Resah

Pijakanku tak setegar dulu. Aku tak pernah tahu apakah duniamu memberiku waktu. Dan bagiku, jalur itu berarah satu. Tak ada istilah ragu.

Aku dipelototi oleh bola mata keresahan yang aku ciptakan sendiri. Tenang saja, ujarmu pasti. Penawarku adalah utopia yang terlalu dini. Racun itu bernama elegi.

Menari di ruang sempit. Berbisik di sela jerit. Aku tak akan berhenti hanya karena sedikit rasa sakit. Berapa lama aku akan bertahan dengan kerongkongan terbelit dan bergelantungan di hitamnya langit?

Nafas

Demi rasa terasing yang kurasa saat surya menyingsing. Dari waktu bisu hingga bising. Hidup berputar tak tentu serupa gasing. Aku mulai mencari celah pada sekat rasa yang mulai membuat otakku miring. Menghadapkan kepala ke dinding. Tak bergeming.

Aku tidak berupa dua!
Aku tidak berpura-pura!

Aku diam saja atau sebaliknya?
Berkata cinta lalu diam seribu bahasa?

Kemudian nafas itu mengalun memenuhi ruang. Memberi polesan terbaik pada perabotan dan prosa tentang perasaan.

Bila padamu ikatan tidak menjanjikan apa-apa, percayalah padaku yang meyakini rasa dan perasaan.

Dari nikmat Tuhan Yang Tak Berkesudahan.

Muda

Menelusuri labirin waktu berbahan baja.
Kami bertemu dan bercengkrama dengan sang masa.
Kami tegaskan dan teriakkan di hadapan wajahnya.
Selamanya kami muda!

Aku Tidak Gila

Pekat rasa.
Kau tertawa, aku mengamuk tak senada. Hanya seonggok lawakan murah yang dilabeli "dusta". Tak perlu tanda terima atau ke kassa. Langsung saja isi buku tamu istimewa dari neraka.

Ya!
Aku mau kau binasa!
Aku mau itu segera terlaksana!

Kemudian sesal menyapa. Memberi warna kelabu pada gumpalan dosa.

Aku tidak gila.
Aku tidak seperti yang kau kira. Retina statistik dan cara pandang akademismu memberitahuku bahwa kau lupa. Lupa bahwa persentase kesalahan kita adalah setara. Hanya masalah waktu dan irama. Masa akan memaksamu melakukan kesalahan yang persis sama.

Dan maaf akan kehilangan aroma.

Dominasi Fitnah

Menjadi tabu memaknai diri.
Menjadi tabu mencari.

Seperti meraba jarum dalam jerami. Atau memaknai lingkar cinta palsu belas kasih di jemari. Atau memaknai hidup sebatas cinta buta insan lain.

Berada di tengah telaga dilema dan menyelami arti hidup sejak dini. Sejak dunia adalah lautan fitnah. Dan fitnah tidak menetralisir hidup. Fitnah janjikan indah dan warna cerah. Fitnah meringsek pada setiap celah.

Mendominasi diri..

Aku Datang Bersama Alam Yang Membelaku

Mengumbar panik di awal pagi. Kalian berbicara bahasa yang sedikitpun tak kumengerti.

Baguslah.

Di mata kalian aku tak nyata. Hanya ilusi pelengkap ruang pandang semata. Serupa perabot tua tak berguna. Tak apa. Sehingga bebas kuhirup udara di luar jendela. Atau merebut udara yang kalian hirup seharusnya.

Tapi ingat, suatu hari di jalan berbatu. Saat langkah kalian melambat dan kalian lengah oleh bisu. Aku datang tanpa bau. Aku datang bersama alam yang membelaku. Aku datang dengan bumi yang berpihak padaku.

Aku datang untuk memaksa ribuan rasa takut keluar dari palung-palung yang pernah kalian kubur. Menggali pusara-pusara mereka yang kalian cipta dari perasaan sombong dan takabur. Dan kemudian jari-jari mereka berubah menjadi sulur-sulur berwarna hitam bercampur lumpur.

Kini gemeretak gigi kalian mengisi malam-malamku. Ide-ide cemerlang kalian kehilangan dian-dian keangkuhan yang pernah bertahta disisinya, dan kemudian apinya dibunuh oleh angin lalu. Angin yang dinginnya pernah menusukku. Kini berbalik padamu.

Aku datang bersama alam yang membelaku.
Kalian sibuk meracau panik, defenisi nyali menjadi rancu. Aku ketakutan! Katamu.

Tatapan itu, memohon belas kasihku.

Janji Di Persimpangan

Dua mata terpana cipta rona bahagia.

Atau haru?

Jemarinya berbicara. Pena menuntun arah. Oh, dimanakah kau arah?

Tintanya membuatku buta.

Atau bisu?


Jika jawabannya adalah tangisan, maka aku lebih baik diam. Menikmati siksa ini lebih dalam. Kini sumpahku tak lagi membebaskan. Tapi aku dijanjikan.

Janji di persimpangan.
Janji yang disaksikan oleh gedung tinggi peradaban dan asap kendaraan.
Terkadang oleh hujan yang mengguyur sebahagian.

Aku menyimak!
Jangan anggap aku bidak. Sekedar perca kain penutup celah terkoyak. Suaraku sudah serak.

Aku terluluhlantak.

Amarah

Ini amarah, jadikan dia sapi perah penghasil darah. Kepala mereka akan kami belah. Hingga wujud seonggok sampah! Buta telaah abaikan ujung pisaumu terarah. Lehermu tanpa bius kami paksa bedah.

Wahai Pencipta manusia dari segumpal darah, hancurkan musuh kami sampai semua rata dengan tanah!

Waktu Itu

Langkahku bergerak tak tentu.
Teringat dahulu.
Saat satu persatu peluru gugup porak-porandakan porosku.

Ya, kau ada disitu.

Waktu itu.

Cerita Hujan Darah Di Lembar Amarah

Kenapa harus kau pertanyakan?
Khilaf menebas jari kakiku hingga terpincang. Dan aku terseok mengejarmu. Namun kau meneriakiku.

Menjauh! Pergilah!

Sahabat, aku rasa pilu.

Hingga kantuk menoreh tandanya, aku merasa menyalahi kepercayaan kita mengenai kata "percaya".

Aku mau suaramu.

Hingga rantai kataku tak kau gubris. Dan diam adalah inginmu setelah menangis.
Baiklah, aku adalah yang berbuat salah. Aku mengumpat diri hingga tak ada hari yang cerah. Hingga reda hujan darah. Hingga hanyut lembar amarah.

Oleh rasa sakit kau rasa lelah?
Tidurlah.

Ibu

Bentuk ibu adalah santun dan lembut.
Tapi itu dulu.

Ibu hari ini adalah mesin eksploitasi bermulut manis.
Arti ibu jadi rancu.

Ibu oh ibu..

Sejak kapan kau mengabaikan bayi-bayimu yang menangis?
Sejak kapan kau lupa memandikan kami yang sudah berbau amis?
Sejak kapan kau menyederhanakan luka-luka kami yang menganga di pelipis?

Sejak kapan?!
Kini aku membentakmu, ibu!

Sejak kau merasa hanya kau yang mampu memberi kami susu?!
Sejak surga di bawah telapak kakimu?!
Sejak murkamu, adalah murka Allah juga, ibu!?!

Itu dulu ibu.
Itu dulu.

Kami menjadi tumbal, dan kau berubah dangkal.

Belum Siap

Carut marut keadaan terbangun cepat. Cekatan membuat tercekat. Awal telapak tangan berjabat, hingga dunia terasa dihisap. Seret aku ke porosmu wahai sahabat.

Senyummu berkelebat cepat, atau mataku yang terlalu sering mengerjap?

Kali ini berlebihan, aku tidak terlalu siap.
Ya, belum siap.

Tapi sangat kuakui, citranya melekat.

7 Pemberhentian Berkelanjutan

Bersama.

Kami luluhlantakkan jalan yang sudah kami bangun. Kami hantam dengan godam keyakinan dan kepercayaan.

Hingga suatu hari penentuan.

Kendali

Mereka mengajak kami berkelahi.

Kami katakan, tak sudi saling pukul tak tahu diri karena nafsu berapi-api tak terkendali.

Mereka sebut kami banci.
Banci?!
Makhluk yang kodratnya pun diingkari?!

Kami katakan, Tuhan kami melarang kami!

Mereka ajak lagi, dan kami tolak kembali.
Mereka sebut kami banci, lagi.

Kami benci.
Mengumpat di dalam hati.
Tapi sekuat-kuat manusia adalah yang mengendalikan diri.

Renungan

Hingga pada suatu hari. Saat mata terasa panas. Suatu saat, ketika hujan tak lagi disyukuri.

Hingga pada suatu masa. Agama hanya dimiliki oleh orang-orang pemalas. Jenis manusia susah yang membuat susah. Jenis yang mendahulukan dan mencari-cari pembenaran pada bid'ah.

Kasta terendah dari semua sampah. Seburuk sejarah Sodom dan Gomorrah. Yang mereka bela, namun hakikatnya harus berkalang tanah!

Pada Jahanam yang menggeram dan meraung murka. Kita, lupakah?

Raut Sesal

Sesal itu berada di luar jangkau. Jemari tak bisa lagi menyentuh rautnya. Bukan bentuk sesal yang terlalu plural. Namun dampaknya yang kelewat brutal.

Jarak pandang redup ditelan hitam menyiratkan samar. Lalu tersadar. Gema terpantul dari dinding jurang.

Sebuah balasan bertunas senang.
Sebuah balasan yang tak kembali menyapa.
Sebuah balasan berujung tanya. Kau dimana?


Hari ini jauh dari ramah. Begitu juga hari-hari sebelumnya. Marah. Kukira itu obat yang berharga murah. Namun larutannya membutakan telaah. Malam memeluk lelah. Mencumbu tanpa jarak penuh gairah. Sampai pagi memaksa terpisah.

Tawa Menyedihkan Si Pintar Yang Bebal

Inilah waktu yang kukutuk. Ketakutan seperti di ujung tanduk. Melibas habis barisan nyali. Terhenyak ancaman diri sendiri.

Lalai di awal kesalahan fatal. Menunggu kanal menuju portal. Aku sudah kebal pada mantra tatapan menghina yang mereka rapal. Otak dan fikiran bebal yang berpengetahuan tipis namun bernafsu tebal. Dimabukkan oleh sebutan "pintar", namun ternyata kekurangan nalar.

Tinta bukan lagi acuan kebenaran. Diganti oleh angka-angka statistik yang patut dipertanyakan. Apa yang sedang kau tertawakan?

Aku?

Sungguh kawan, kau menyedihkan!

Lari!

Wahai penguasa erangan dan tangisan.
Jauh terpaut jarak terantai pesan. Aku membaca seraut keluhan. Pada target misi infiltrasi virus dan kuman. Kontaminasi dan invasi beruntun pikulkan beban.

Menjadi sandera makhluk mikroskopik. Sesaat tertawa, kemudian sakit itu kembali menggelitik.

Menolak terlelap bukan lagi idealisme hakiki. Namun lebih kepada penjara pengasingan diri. Teralisnya terlalu kuat, rapat, dan dingin. Persiapkan C4 atau hulu ledak berkekuatan tinggi. Saat satu suara memekakkan itu terhenti, saatnya melarikan diri.

Lari!

Kadar Labil Di Malam Sehitam Jelaga

Demi telapak kaki yang beradu aspal. Demi setiap sumpah yang terlafal. Kau berlari saat hitam dan gelap tak ada beda. Malam sehitam jelaga. Pada saat hujan menggila.

Aku menyemangatimu di pojokan ruang kecil ketidakmungkinan. Ruang untuk sahabat labil yang merindukan sang pengusir bosan. Saling menyimak ditengah huru-hara kesibukan. Inilah hiruk pikuk ratapan kematian. Dari bibir rasa bosan yang kami coba siksa siang dan malam.

Berujar cerita. Dari jarak, kudengar kau tertawa. Tersungging senyum, terkadang aku terbata. Kau ukur kadar kelabilanku, kuharap kau salah. Dimanakah kesan bertahta? Kuharap itu ada.

Yang memandang dari tempat gelap. Menutup mata dari cahaya tanpa sebab.

Aku menolak terlelap!

Bangkit dan kemudian merayap. Terseok-seok menyeret hati yang digerogoti rayap. Aku mulai meratap. Maka tumbuhlah sayap. Diantara derap rasa takut bersanding harap.

Akupun terlelap..

Malam Berucap Tanpa Berfikir

Tak perlu berfikir. Menunggu dering tanpa akhir. Memarkirkan diri di tempat parkir dan berfikir, "Tak perlu berfikir". Aku gugup, oh Tuhan para pemikir.

Berasa seruang. Aku dan kau saling bantah tanpa halang. Inilah dialog, inilah jurang. Inilah jatuh yang selalu ingin kuulang. Inilah dialog antara ruang. Inilah epilog dengan simpul meradang.

Seret aku ke pusaran berporos fokus itu. Bekap wajahku hingga nafas tak berwujud selain semu. Bertutur jujur, berserat manfaat, dan ilmu yang tersusun teratur.


Dogma apa yang kau benamkan? Selain kurasa geli berlarut aneh saat kau berucap "faham".

Lalu tenggelam.
Terlalu malam.

Ekspresi apa yang kau tunjukkan? Saat aku membantah teorimu mengenai tawa dan senyum yang kau sunggingkan.

Lalu terang.
Tawa berkumandang.

Tak perlu berlebihan. Tapi kemudian, aku terlalu senang.

Ketidakpastian Cinta Berwarna Hitam

Terjerat oleh sulur. Meracau hingga babak belur. Seperti dibekap malam berhujan sangkur. Teratur diatur memuja figur. Yang kemarin menyapa diwaktu Zhuhur. Wahai pengendali erangan dan tangisan. Berikan aku gambaran atas perasaan yang tak beraturan. Sesak di dada tak berkasihan. Waktu yang tak ada dalam buku ramalan. Tak tertafsirkan. Tak tertahankan.

Warnai aku, oh ketidakpastian!

Dengan cinta tulus berwarna hitam. Bukan merah seperti valentine's day yang dipuja sampai bibir lebam.

Jangan percaya fikiranmu, dia menipumu saat kau tertidur pulas. Percayalah pada perasaan yang menaungimu dari hujan dan panas.

Puisi Getir Jatuh Hati

Kembali lagi aku jatuh hati. Pada jemari yang menari di sela-sela getir puisi. Aku berdarah dan akan mati.

Sedikit sekali pasir waktu. Aku malu. Tapi aku mau. Saat waktu terbelah membuat kita terpisah oleh fardhu. Senyummu membuat bisu tanah dihantam hujan sore itu.

Merobek kelambu waktu.

Inginku selalu..

Lelah

Maka istirahatkan saja mata kaki yang jenuh memandang aspal siang ini.
Hingga malam menepati janji, dan pastikan semua berakhir saat Subuh lantunkan adzan..

Poros Hidup di Pertanyaan : "Aku, Siapakah?"

Ketidakstabilan adalah porosku.
Itu sudah tentu.
Mendidih uap di sudut mata menahan malu.

Ketika sejengkal surya meradang sebabkan merah, satu pertanyaan yang selalu muncul dan tak tersanggah.

Aku, siapakah?

Dari Sejumput Memori

Kehilangan nyali di awal malam. Mengutuk kekhilafan yang menjerumuskan. Degup terhenti dan terhempas kembali.

Dari sejumput memori..

Monster statistik mengkalkulasi kasus setiap hari. Datapun diperbaharui. Sakti hari ini, esok tidak lagi.

Dari sejumput memori..

Dari segenggam kenangan. Yang menggaruk kasar luka masa lalu yang kelam. Atau secuil kenangan.

Dari sejumput memori..

Zona Perang Di Halaman Sekolah

Zaman norma tergerus. Peranan Tuhan terhapus. Terasah setajam pedang terhunus. Dilema pelaku penyalahguna anus.

Lupakah kau pada nikmat Sang Pencipta debu sebagai parameter?

Yang berarti krisis moneter hanyalah secuil tanda dimulainya cara fikir barbar. Dan kita pun mulai gentar. Mengesampingkan pelajaran Sekolah Dasar. Analogi lidi yang bersatu dan tercerai-berai. Lupa diri di tengah suara tinju ramai menghantam lantai. Mengiba-iba meminta damai. Tak diberi malah dibantai. Tegaskan semua di penghujung malam tanpa berandai-andai. Bebaskanlah amarah dari kekangan rantai.

Memperlakukan Diri..

Berkaca dari gerak rotasi dan naluri.
Alam melafalkan..
Kami menghidupi..

Seringan Kapas, Sedingin Khilaf

Mereka hanya seringan kapas. Memutih lembut dingin hilang panas.
Kaku..
Kau jadikan dia batu.
Khilaf kilahmu..!!??

Bagaimana khilafku jika membentuk garis di wajahmu dengan mata sembilu? Dari mata sampai ke dagu. Dari Gaza hingga pilu. Dari cerita masa lalu. Aku tak mau tahu. Aku ada kau dan dia berjibaku. Aku tak mau tahu.

Kau berkalang tanah kuharap kau punah.Seluruh dunia kan bertumpah meriah.
Melimpah!
Semoga ada berkah. Di balik aroma darah dan rasa jengah terjajah..

Tuhan Jalanan Merampas Nyawa Di Koridor

Bilakah kau puas?
Misal kau berkuasa. Kau telusuri setiap desa di hati. Melewati lorong-lorong. Setiap pintu rumah kau gedor. Mendapati kami berlarian, berhamburan di koridor. Pelurumu menembus tubuh kami.

Salah kami apa?

...


Siapakah dia?
Kukira...
Pemuas dahaga akan cahaya. Dalam malam gulita rambu pun tiada.
Dan kemudian karena merasa berpengetahuan. Atau diperhatikan. Dia mengatakan kepada teman-teman sepantaran di jalanan. "Kalian adalah pasukan-pasukan setan".

"Dan Aku adalah Tuhan!"