Waktu Itu

Langkahku bergerak tak tentu.
Teringat dahulu.
Saat satu persatu peluru gugup porak-porandakan porosku.

Ya, kau ada disitu.

Waktu itu.

Cerita Hujan Darah Di Lembar Amarah

Kenapa harus kau pertanyakan?
Khilaf menebas jari kakiku hingga terpincang. Dan aku terseok mengejarmu. Namun kau meneriakiku.

Menjauh! Pergilah!

Sahabat, aku rasa pilu.

Hingga kantuk menoreh tandanya, aku merasa menyalahi kepercayaan kita mengenai kata "percaya".

Aku mau suaramu.

Hingga rantai kataku tak kau gubris. Dan diam adalah inginmu setelah menangis.
Baiklah, aku adalah yang berbuat salah. Aku mengumpat diri hingga tak ada hari yang cerah. Hingga reda hujan darah. Hingga hanyut lembar amarah.

Oleh rasa sakit kau rasa lelah?
Tidurlah.

Ibu

Bentuk ibu adalah santun dan lembut.
Tapi itu dulu.

Ibu hari ini adalah mesin eksploitasi bermulut manis.
Arti ibu jadi rancu.

Ibu oh ibu..

Sejak kapan kau mengabaikan bayi-bayimu yang menangis?
Sejak kapan kau lupa memandikan kami yang sudah berbau amis?
Sejak kapan kau menyederhanakan luka-luka kami yang menganga di pelipis?

Sejak kapan?!
Kini aku membentakmu, ibu!

Sejak kau merasa hanya kau yang mampu memberi kami susu?!
Sejak surga di bawah telapak kakimu?!
Sejak murkamu, adalah murka Allah juga, ibu!?!

Itu dulu ibu.
Itu dulu.

Kami menjadi tumbal, dan kau berubah dangkal.

Belum Siap

Carut marut keadaan terbangun cepat. Cekatan membuat tercekat. Awal telapak tangan berjabat, hingga dunia terasa dihisap. Seret aku ke porosmu wahai sahabat.

Senyummu berkelebat cepat, atau mataku yang terlalu sering mengerjap?

Kali ini berlebihan, aku tidak terlalu siap.
Ya, belum siap.

Tapi sangat kuakui, citranya melekat.