Tawa Menyedihkan Si Pintar Yang Bebal

Inilah waktu yang kukutuk. Ketakutan seperti di ujung tanduk. Melibas habis barisan nyali. Terhenyak ancaman diri sendiri.

Lalai di awal kesalahan fatal. Menunggu kanal menuju portal. Aku sudah kebal pada mantra tatapan menghina yang mereka rapal. Otak dan fikiran bebal yang berpengetahuan tipis namun bernafsu tebal. Dimabukkan oleh sebutan "pintar", namun ternyata kekurangan nalar.

Tinta bukan lagi acuan kebenaran. Diganti oleh angka-angka statistik yang patut dipertanyakan. Apa yang sedang kau tertawakan?

Aku?

Sungguh kawan, kau menyedihkan!

Lari!

Wahai penguasa erangan dan tangisan.
Jauh terpaut jarak terantai pesan. Aku membaca seraut keluhan. Pada target misi infiltrasi virus dan kuman. Kontaminasi dan invasi beruntun pikulkan beban.

Menjadi sandera makhluk mikroskopik. Sesaat tertawa, kemudian sakit itu kembali menggelitik.

Menolak terlelap bukan lagi idealisme hakiki. Namun lebih kepada penjara pengasingan diri. Teralisnya terlalu kuat, rapat, dan dingin. Persiapkan C4 atau hulu ledak berkekuatan tinggi. Saat satu suara memekakkan itu terhenti, saatnya melarikan diri.

Lari!

Kadar Labil Di Malam Sehitam Jelaga

Demi telapak kaki yang beradu aspal. Demi setiap sumpah yang terlafal. Kau berlari saat hitam dan gelap tak ada beda. Malam sehitam jelaga. Pada saat hujan menggila.

Aku menyemangatimu di pojokan ruang kecil ketidakmungkinan. Ruang untuk sahabat labil yang merindukan sang pengusir bosan. Saling menyimak ditengah huru-hara kesibukan. Inilah hiruk pikuk ratapan kematian. Dari bibir rasa bosan yang kami coba siksa siang dan malam.

Berujar cerita. Dari jarak, kudengar kau tertawa. Tersungging senyum, terkadang aku terbata. Kau ukur kadar kelabilanku, kuharap kau salah. Dimanakah kesan bertahta? Kuharap itu ada.

Yang memandang dari tempat gelap. Menutup mata dari cahaya tanpa sebab.

Aku menolak terlelap!

Bangkit dan kemudian merayap. Terseok-seok menyeret hati yang digerogoti rayap. Aku mulai meratap. Maka tumbuhlah sayap. Diantara derap rasa takut bersanding harap.

Akupun terlelap..

Malam Berucap Tanpa Berfikir

Tak perlu berfikir. Menunggu dering tanpa akhir. Memarkirkan diri di tempat parkir dan berfikir, "Tak perlu berfikir". Aku gugup, oh Tuhan para pemikir.

Berasa seruang. Aku dan kau saling bantah tanpa halang. Inilah dialog, inilah jurang. Inilah jatuh yang selalu ingin kuulang. Inilah dialog antara ruang. Inilah epilog dengan simpul meradang.

Seret aku ke pusaran berporos fokus itu. Bekap wajahku hingga nafas tak berwujud selain semu. Bertutur jujur, berserat manfaat, dan ilmu yang tersusun teratur.


Dogma apa yang kau benamkan? Selain kurasa geli berlarut aneh saat kau berucap "faham".

Lalu tenggelam.
Terlalu malam.

Ekspresi apa yang kau tunjukkan? Saat aku membantah teorimu mengenai tawa dan senyum yang kau sunggingkan.

Lalu terang.
Tawa berkumandang.

Tak perlu berlebihan. Tapi kemudian, aku terlalu senang.

Ketidakpastian Cinta Berwarna Hitam

Terjerat oleh sulur. Meracau hingga babak belur. Seperti dibekap malam berhujan sangkur. Teratur diatur memuja figur. Yang kemarin menyapa diwaktu Zhuhur. Wahai pengendali erangan dan tangisan. Berikan aku gambaran atas perasaan yang tak beraturan. Sesak di dada tak berkasihan. Waktu yang tak ada dalam buku ramalan. Tak tertafsirkan. Tak tertahankan.

Warnai aku, oh ketidakpastian!

Dengan cinta tulus berwarna hitam. Bukan merah seperti valentine's day yang dipuja sampai bibir lebam.

Jangan percaya fikiranmu, dia menipumu saat kau tertidur pulas. Percayalah pada perasaan yang menaungimu dari hujan dan panas.