Puisi Getir Jatuh Hati

Kembali lagi aku jatuh hati. Pada jemari yang menari di sela-sela getir puisi. Aku berdarah dan akan mati.

Sedikit sekali pasir waktu. Aku malu. Tapi aku mau. Saat waktu terbelah membuat kita terpisah oleh fardhu. Senyummu membuat bisu tanah dihantam hujan sore itu.

Merobek kelambu waktu.

Inginku selalu..

Lelah

Maka istirahatkan saja mata kaki yang jenuh memandang aspal siang ini.
Hingga malam menepati janji, dan pastikan semua berakhir saat Subuh lantunkan adzan..

Poros Hidup di Pertanyaan : "Aku, Siapakah?"

Ketidakstabilan adalah porosku.
Itu sudah tentu.
Mendidih uap di sudut mata menahan malu.

Ketika sejengkal surya meradang sebabkan merah, satu pertanyaan yang selalu muncul dan tak tersanggah.

Aku, siapakah?

Dari Sejumput Memori

Kehilangan nyali di awal malam. Mengutuk kekhilafan yang menjerumuskan. Degup terhenti dan terhempas kembali.

Dari sejumput memori..

Monster statistik mengkalkulasi kasus setiap hari. Datapun diperbaharui. Sakti hari ini, esok tidak lagi.

Dari sejumput memori..

Dari segenggam kenangan. Yang menggaruk kasar luka masa lalu yang kelam. Atau secuil kenangan.

Dari sejumput memori..

Zona Perang Di Halaman Sekolah

Zaman norma tergerus. Peranan Tuhan terhapus. Terasah setajam pedang terhunus. Dilema pelaku penyalahguna anus.

Lupakah kau pada nikmat Sang Pencipta debu sebagai parameter?

Yang berarti krisis moneter hanyalah secuil tanda dimulainya cara fikir barbar. Dan kita pun mulai gentar. Mengesampingkan pelajaran Sekolah Dasar. Analogi lidi yang bersatu dan tercerai-berai. Lupa diri di tengah suara tinju ramai menghantam lantai. Mengiba-iba meminta damai. Tak diberi malah dibantai. Tegaskan semua di penghujung malam tanpa berandai-andai. Bebaskanlah amarah dari kekangan rantai.