Pemilik rahim penuntun arah. Teracuhkan oleh peradaban yang bobrok sudah. Tapi kau tak pernah menyerah. Sedetikpun tak pernah.
Kau punggungi rasa sakit. Memaniskan pahit. Susah payah kau menjaga agar bumi tak pernah terasa sempit dan menghimpit.
Bagiku putramu, oh Ibu.
Masih saja aku ragu. Masih saja dengan kasar lidahku berujar, "Dimana cintamu?".
Aku tak percaya durhaka akan berujung batu.
Namun cinta itu, membuatku mengemis surga di telapakmu.
Selimut
Perlukah kita berbisik pada selimut bahwa kita takut?
Takut hanya secuil rasa yang tak dirasakan selimut. Selimutmu tak kenal hidup, dan dia tak gentar pada maut. Dia juga tak menggubris pucat pasi yang tersaput di wajahmu saat menanti ajal yang seolah berjalan seperti siput. Masih saja kau merengek perlindungan padanya dari rasa takut.
Hanya pada sebuah selimut. Namun kau rela berlutut.
Takut hanya secuil rasa yang tak dirasakan selimut. Selimutmu tak kenal hidup, dan dia tak gentar pada maut. Dia juga tak menggubris pucat pasi yang tersaput di wajahmu saat menanti ajal yang seolah berjalan seperti siput. Masih saja kau merengek perlindungan padanya dari rasa takut.
Hanya pada sebuah selimut. Namun kau rela berlutut.
Warna
Tirai hijau bisu tertiup sayup angin tak berbau. Rebah tubuh lelah dan layu. Secuil kantuk menyapu. Pandangku tak bertemu cahaya hidup.
Kerikil berdesak di udara. Halangi warna cinta dan benci. Warna kasat mata. Hanya riak ribut sesekali. Sesekali yang berulang-ulang kali.
Ornamen berlebihan?
Atau miskin keteraturan?
Kerikil berdesak di udara. Halangi warna cinta dan benci. Warna kasat mata. Hanya riak ribut sesekali. Sesekali yang berulang-ulang kali.
Ornamen berlebihan?
Atau miskin keteraturan?
Penggalan Era Tak Terbantah
Beragam dalih terujar oleh lidah.
Kita tegaskan dosa tanpa rasa bersalah.
Menoreh arang di wajah.
Era berubah, kita bangga menjadi sampah!
Kita tegaskan dosa tanpa rasa bersalah.
Menoreh arang di wajah.
Era berubah, kita bangga menjadi sampah!
Subscribe to:
Posts (Atom)