Aku Selalu Sendirian

Setiap ilalang adalah parang.
Setiap ucap adalah hinaan.

Telingaku dibungkam.
Dikuasai kemarahan.

Murka.

Kemudian aku lupa.

Aku lalu tuli.
Sesaat bisu dan murka lagi.
Berputar tak henti.

Sinergi.

Paru-paruku sesak oleh pertanyaan.
Jawab! Sungguh keras teriakan.
Di pojokan aku ditekan.
Aku lelah. Aku menerobos menyeruak mencari ruang.
Tak ada siapapun di belakang, di depan, kiri dan kanan.

Hanya khayalan?

Aku selalu sendirian.

Kau Bukan Beban

Pencari cahaya berhenti mencari. Mulai meraba sepi.
Adaptasi.

Isyarat dan alur ruang terbentuk. Dari tetes air mata di pelupuk dan disudut petakan terpuruk.

Kesamaan bukan alasan. Hanya mencari teman yang membuat kita membebani persendian dan penjarian. Bahu menjadi kaku menahan beban. Mata menderita radiasi warna dan pencahayaan.

Pagi sayup meneriaki malam. Mataku terpejam.

Rindu Saja

Oh, aku tak akan gila. Namun tentu saja nyaris gila.

Tak perlu kau dikte aku cara menyebut namamu dari waktu-waktu yang kureguk pahit. Tanpamu rasanya sakit. Bait hanya sebuah bait. Tak lebih buruk hanya karena rimanya sedikit. Juga tak kusebut lebih baik.

Tak akan pernah membuktikan kalau ini semua berharga. Atau murahan.

Aku rindu saja.

Pemilik Rahim Penuntun Arah

Pemilik rahim penuntun arah. Teracuhkan oleh peradaban yang bobrok sudah. Tapi kau tak pernah menyerah. Sedetikpun tak pernah.

Kau punggungi rasa sakit. Memaniskan pahit. Susah payah kau menjaga agar bumi tak pernah terasa sempit dan menghimpit.

Bagiku putramu, oh Ibu.
Masih saja aku ragu. Masih saja dengan kasar lidahku berujar, "Dimana cintamu?".
Aku tak percaya durhaka akan berujung batu.

Namun cinta itu, membuatku mengemis surga di telapakmu.

Selimut

Perlukah kita berbisik pada selimut bahwa kita takut?

Takut hanya secuil rasa yang tak dirasakan selimut. Selimutmu tak kenal hidup, dan dia tak gentar pada maut. Dia juga tak menggubris pucat pasi yang tersaput di wajahmu saat menanti ajal yang seolah berjalan seperti siput. Masih saja kau merengek perlindungan padanya dari rasa takut.

Hanya pada sebuah selimut. Namun kau rela berlutut.

Warna

Tirai hijau bisu tertiup sayup angin tak berbau. Rebah tubuh lelah dan layu. Secuil kantuk menyapu. Pandangku tak bertemu cahaya hidup.

Kerikil berdesak di udara. Halangi warna cinta dan benci. Warna kasat mata. Hanya riak ribut sesekali. Sesekali yang berulang-ulang kali.

Ornamen berlebihan?
Atau miskin keteraturan?

Penggalan Era Tak Terbantah

Beragam dalih terujar oleh lidah.
Kita tegaskan dosa tanpa rasa bersalah.
Menoreh arang di wajah.
Era berubah, kita bangga menjadi sampah!