Mengumbar panik di awal pagi. Kalian berbicara bahasa yang sedikitpun tak kumengerti.
Baguslah.
Di mata kalian aku tak nyata. Hanya ilusi pelengkap ruang pandang semata. Serupa perabot tua tak berguna. Tak apa. Sehingga bebas kuhirup udara di luar jendela. Atau merebut udara yang kalian hirup seharusnya.
Tapi ingat, suatu hari di jalan berbatu. Saat langkah kalian melambat dan kalian lengah oleh bisu. Aku datang tanpa bau. Aku datang bersama alam yang membelaku. Aku datang dengan bumi yang berpihak padaku.
Aku datang untuk memaksa ribuan rasa takut keluar dari palung-palung yang pernah kalian kubur. Menggali pusara-pusara mereka yang kalian cipta dari perasaan sombong dan takabur. Dan kemudian jari-jari mereka berubah menjadi sulur-sulur berwarna hitam bercampur lumpur.
Kini gemeretak gigi kalian mengisi malam-malamku. Ide-ide cemerlang kalian kehilangan dian-dian keangkuhan yang pernah bertahta disisinya, dan kemudian apinya dibunuh oleh angin lalu. Angin yang dinginnya pernah menusukku. Kini berbalik padamu.
Aku datang bersama alam yang membelaku.
Kalian sibuk meracau panik, defenisi nyali menjadi rancu. Aku ketakutan! Katamu.
Tatapan itu, memohon belas kasihku.
Janji Di Persimpangan
Dua mata terpana cipta rona bahagia.
Atau haru?
Jemarinya berbicara. Pena menuntun arah. Oh, dimanakah kau arah?
Tintanya membuatku buta.
Atau bisu?
Jika jawabannya adalah tangisan, maka aku lebih baik diam. Menikmati siksa ini lebih dalam. Kini sumpahku tak lagi membebaskan. Tapi aku dijanjikan.
Janji di persimpangan.
Janji yang disaksikan oleh gedung tinggi peradaban dan asap kendaraan.
Terkadang oleh hujan yang mengguyur sebahagian.
Aku menyimak!
Jangan anggap aku bidak. Sekedar perca kain penutup celah terkoyak. Suaraku sudah serak.
Aku terluluhlantak.
Atau haru?
Jemarinya berbicara. Pena menuntun arah. Oh, dimanakah kau arah?
Tintanya membuatku buta.
Atau bisu?
Jika jawabannya adalah tangisan, maka aku lebih baik diam. Menikmati siksa ini lebih dalam. Kini sumpahku tak lagi membebaskan. Tapi aku dijanjikan.
Janji di persimpangan.
Janji yang disaksikan oleh gedung tinggi peradaban dan asap kendaraan.
Terkadang oleh hujan yang mengguyur sebahagian.
Aku menyimak!
Jangan anggap aku bidak. Sekedar perca kain penutup celah terkoyak. Suaraku sudah serak.
Aku terluluhlantak.
Amarah
Ini amarah, jadikan dia sapi perah penghasil darah. Kepala mereka akan kami belah. Hingga wujud seonggok sampah! Buta telaah abaikan ujung pisaumu terarah. Lehermu tanpa bius kami paksa bedah.
Wahai Pencipta manusia dari segumpal darah, hancurkan musuh kami sampai semua rata dengan tanah!
Wahai Pencipta manusia dari segumpal darah, hancurkan musuh kami sampai semua rata dengan tanah!
Subscribe to:
Posts (Atom)